PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya
maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makala yang berjudul “Analisis
Novel Nyai Dasima”
Makalah ini disusun guna untuk melengkapi tugas akhir Mata Kuliah
Apresiasi Prosa. Dalam menyusun makalah ini, penulis menyadari masih terdapat
banyak kekurangan. Untuk itu, penulis berharap kritik dan saran dari semua
pihak untuk menjadikan makalah ini lebih baik lagi.
Tak lupa
penulis ucapkan rasa terima kasih kepada Ibu Nas selaku dosen pembimbing Mata
Kuliah Apresiasi Prosa dan Ibu Nana Rizki selaku asisten dosen sehingga tugas ini dapat penulis
selesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah
mendukung dan pihak-pihak lain yang
turut membantu penyusunan tugas ini sehingga dapat dinikmati oleh pembaca.
Akhir kata, penulis bersedia menerima kritik maupun saran
yang dapat membangun agar dapat menyelesaikan tugas lebih baik lagi. Selain itu,
penulis meminta maaf jika terdapat kekurangan dalam penulisan tugas ini. Semoga
tugas ini bermanfaat. Terima kasih.
Semarang, .. Juli 2014
Yeni Alfiani
Bab
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang
Karya
sastra selain sebagai media pendidikan, kontrol sosial, pemberontakan, juga
berfungsi sebagai penyampaian pesan kepada masyarakat atas segala polemik
persoalan yang ada sehingga kita dapat mempunyai gambaran atas apa yang harus
kita lakukan saat harus menghadapi persoalan yang sama dengan apa yang terjadi
dalam sebuah karya sastra (Novel) misalnya.
Sejarah
novel Indonesia berkembang seiring dengan sejarah budaya kota-kota besar di
Indonesia. Yang menjadi faktor pendorong munculnya novel-novel populer yang
menggunakan bahasa Melayu-Cina adalah terputusnya akar budaya yang mereka
miliki. Novel-novel populer yang beredar pada masa sastra Melayu Rendah
sebagian besar bercerita tentang kaum pribumi dan kejadian-kejadian sejarah
Indonesia , salah satu karyanya yaitu novel Nyai
Dasima karangan G. Francis yang ditulis ulang oleh S.M Ardan.
Jenis prosa
fiksi yang akan dianalisis adalah novel. Novel
merupakan hasil karya sastra yang didalamnya mengungkapkan masalah-masalah yang
tedapat dalam kehidupan, baik yang berkaitan denga nilai-nilai sosial,filsafal,
moral, religius, maupun hal-hal yang ada di dalam kehidupan. Karya sastra novel
sebagai salah satu bentuk cerita rekaan, merupakan sebuah karya yang kompleks
dan bermakna. Novel bukan sekedar bacaan saja, tetapi merupakan hasil karya
yang terdiri dari unsur-unsur yang padu. Untuk mengetahui dan memahami
makna-makna pikiran-pikiran tersebut, karya sastra Novel perlu dianalisis.
Untuk itu, di sini saya akan mencoba menganalisis Novel “Nyai Dasima” karya S.M
Ardan.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa
saja unsur intrinsik dari novel ini ?
2. Apa
saja unsur ekstrinsik dari novel ini ?
3. Apa
saja hal-hal yang menarik yang terdapat
dalam novel Nyai Dasima ?
Bab
II
PEMBAHASAN
2.1 Unsur
Intrinsik
1.
Tokoh
dan Penokohan
a.
Tokoh
·
Dasima
·
Tuan
Edward Williams
·
Samiun
·
Hayati
·
Mak
Leha
·
Bang
Puase
·
Dulo
·
Mak
Buyung
·
Wak
Salihun
Ditinjau
dari segi keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh prosa fiksi dibedakan
menjadi dua, yaitu tokoh sentral / tokoh utama dan tokoh periferal / tokoh
tambahan ( bawahan ). Berikut merupakan tokoh sentral dan tokoh periferal dalam
novel “ Nyai Dasima“ :
Ø Tokoh Sentral
·
Dasima
Ø Tokoh Periferal
·
Tuan
Edward Williams
·
Samiun
·
Hayati
·
Mak
LehaBang Puase
·
DuloMak
Buyung
·
Wak
Salihun
b.
Penokohan
Penokohan merupakan penyajian watak tokoh dan penciptaan citra
tokoh. Penokohan dalam novel “Nyai Dasima“ ini adalah sebagai berikut :
Tokoh
|
Watak
|
Penjelasan
|
Dasima
|
·
Berani mengungkapkan
sesuatu hal
·
Sabar
·
Mudah terpengaruh
·
Penakut
·
penyanyang
|
“Hampir
tiap malam, Tuan terima tamu bangsanya, tapi saya tidak bisa ikut mereka,
saya tidak bisa ketawa-tawa bersama mereka, saya tidak mengerti omong
mereka,” (halaman 14, bagian kesatu)
“tujuh
tahun saya kesepian, jauh dari orang tua, jauh dari teman, jauh dari bangsa
sendiri. Saya sering melamun sendirian, apalagi kalau malam dan Nancy sudah
tertidur”.
(halaman 14, bagian
kesatu)
“
Dasima terpengaruh, dan berkata, “ saya mau cerai dari Tuan supaya bisa
diakui lagi sama orang tua, diakui lagi sama bangsa saya. Sudah lama saya
ingin pulang, campur lagi sama teman-teman di Kuripan, . . .
(halaman 45, bagian
kedua)
“Tapi sebentar lagi Tuan pulang. Nanti
saya dapat marah.”
(halaman 18)
“Sebenarnya saya senang sekali di
sini. Tapi saya ingat Mamcy, Mak.”
(halaman 18)
|
Tuan Edward Williams
|
·
Suka menghina
·
Pembalas dendam
|
“Tuan
sudah tahu saya suka datang ke mari. Lantas lagi-lagi saya dihina sebagai
orang kampung, Tuan amat marah.”
(halaman 42, bagian
kedua)
“Tuan
pikir saya tidak akan betah lama-lama di siini, tapi Tuan salah juga. Sebab
itu saa takut, saya takut Tuan akan membalas dendam. Tentunya Tuan tidak akan
tinggal diam, Lo.” (halaman 57, bagian
ketiga)
|
Samiun
|
·
Egois
·
Putus
asa
|
“Kagak
bisa laen, Wak. Nyai musti didapetin. Kalu kagak, bisa mati aye”. (halaman
21, bagian kesatu)
“Lu
kan lakinye, pantes dong tegor tu Hayati. Lu sih malahan ikut-ikutan kagak
bener. Padahal kewajiban lu tu bawa Hayati ke jalan agame.”
“Ude
kagak mempan dibilangin, Wak,” jawab Miun.
(halaman 22, bagian
kesatu)
|
Hayati
|
·
Suka bermain ceki
(berjudi)
·
Takut di tinggal
kawin
·
Jahat, Mengambil sesuatu
yang bukan miliknya dengan paksa
|
“
Mpok Hayati kemane, Nyak?”
Dengan
suara keras Mak Leha berkata, “Kaye nyang nggak tau aje. Biase deh. Dari pagi
ude pegi, tapi bukan nyari duit kaye si Miun. Hayati sih ngebuangin duit ...
maen ceki!” (halaman 3, bagian kesatu)
“Hayati
mencoba menghentikan tangisnya. “Bang Puase bilang Miun ... Miun ... Miun
kawin lagi,” dan menjerit lagi, “Un ... Miun.”
(halaman 53, bagian
kedua)
“Tidak
lama kemudian Hayati muncul lagi sambil membungkus kalung emas dengan sapu
tangannya. Pada saat itu pula Dasima muncul kembali, kaget, “Pok ... mau
dibawa kemana?” (halaman 61, bagian ketiga)
|
Mak Leha
|
·
Sabar
·
Perhatian
|
“Dan
Mak Leha coba bersabar” (halaman 8, bagin
kesatu)
“Umpamanye lu
jadi kawin ame tu Nyai ... nanti ...,”
“Ape sekiranye
lu snggup ngempaninnye?”
(halaman 37,
bagian kedua)
|
Bang Puase
|
·
Mau melakukan apa
saja asal mendapatkan uang
·
Suka mengancam
·
Suka malak
|
“
ape lu kira gue orang sembarangan ? gue nih ... jangan lu samain ame Puase
tuh nyang mau ngerjain ape aje asal dapet duit”.
(halaman 21, bagian kesatu)
“Ape
nyang mane?”
Sambil
pegang goloknya Bang Puase mengancam, “E, lu mau nyobain golok gue si Mane
Lagi, hah?” (halaman 25, bagian kesatu)
“Ssst!
Sini lu!” gertak sang jagoan. “Sini ...”
“Duit
setoran?” Bang Puase ketawa.
Si
tukang pukul Kwitang tolak pinggang, emangnye kenape?”
(halaman 57, bagian ketiga
|
Dulo
|
·
Penakut
|
“Ape
lu!” gertak Bang Puase.
Dulo
meringis seperti mau menangis.
(halaman
49, bagian kedua)
“
Takut-takut Dulo menghampiri, dengan suara gemetar berkata, “Ade juga duit
setoran, Bang.” (halaman 57, bagian ketiga)
|
Mak Buyung
|
·
Suka
Menghasut
|
“Tahulah
Mak Buyung bahwa jalan untu “menggosok” Dasima telah terbuka, “pancing” mulai
ddilemparkan, “Aah masa sih Nyai betah di sini. Rumenye pondok ampir rubu,
jalannye becek kalu ujan, gelap kalu malem.”
(halaman 13,
bagian kesatu)
“
itulah suatu pembukaan jalan, Mak Buyung tidak membuang kesempatan itu.”
“
Dasima sudah masuk perangkap. Mak suka antar saya ke Kuripan?”
(halaman 43, bagian kedua)
|
Wak Salihun
|
·
Rajin
beribadah
·
Taat
agama
|
“Ketika
itulah dari kiri lewat Wak Lihun dengan tasbih di tangan kiri sedangkan
tangan kanannya memgang tongkat hendak ke langgar (mushola atau masjid)”.
(halaman 2, bagian kesatu)
“Tapi lu
jangan nyuruh gue melet. Haram tau ? miun kelabakan sebentar, dan kemudian
coba membela diri”. (halaman 21, bagian kesatu)
|
2.
Jenis dan
Struktur Alur
Alur adalah
jalinan peristiwa secara beruntun dalam sebuah prosa fiksi yang memperhatikan
hubungan sebab-akibat sehingga cerita itu merupakan keseluruhan yang padu,
bulat, dan utuh.
Jenis
alur yang digunakan dalam novel ini adalah jenis alur maju, karena di dalam
novel ini pengarang menceritakan urutan kejadian atau peristiwa secara
berurutan.
Struktur Alur :
-
Tahap
Awal pengenalan
Bagian
cerita berupa pengenalan tokoh, lukisan , waktu, tempat atau kejadian
yang merupakan awal cerita.
Bukti :
JAKARTA,
di jaman Betawi, tahun 1820-an. Kampung Kwitang aktu itu masih merupakan
“setengah hutan”, belum banyak penghuninya. Di antara rumah-rumah yang sedikit
itu terdapatlah sebuah rumah beratap genting kepunyaan Samiun yang memiliki
beberapa buah delman.
-
Tahap
pemunculan konflik
Bagian
yang menceritakan maslah yang dihadapi pelaku cerita.
Bukti :
“Ketika
Samiun menemui dan meminta bantuan Wak Lihun untuk menyemburkan (melet) Nyai
Dasima agar jatuh cinta kepada dirinya. Tetapi, di situ Wak Lihun menolaknya
dengan tegas. Karena, menurutnya itu haram. Dan mengatakan bahwa Samiun akan
ikut-ikutan kafir seperti Nyai Dasima yang berlaki kafir. Wak lihun juga
mengatakan bahwa Samiun menginginkan Nyai Dasima bukan karena cinta, tapi karena
hartanya”.
-
Tahap
peningkatan konflik
Bukti :
“Ketika
Nyai Dasima datang ke rumahnya Mak Buyung dan memberitahukan bahwa Tuannya
sudah tau bahwa dia suka datang ke sini (kampung, tempat tinggal Mak Buyung).
Nyai Dasimah dihina oleh Tuan W sebagai orang kampung dan Tuannya amat marah.
Saat itu , Nyai Dasima mengutarakan isi hatinya untuk dapat segera berkumpul
dengan bangsanya sendiri. Mak buyung pun mengusul agar Nyai Dasima cerai dengan
Tuan. Awalnya Nyai Dasima ragu untuk bercerai dengan Tuan, karena sudah begitu
lama dengan Tuan. Tapi, cepat-cepat Mak Buyung memotong perkataan Nyai Dasima
dan terus meyakinkan Nyai Dasima agar mau segera cerai dengan Tuan. Akhirnya
Nyai Dasima pun terpengaruh oleh kata-kata Mak Buyung untuk cerai dengan Tuan
agar dapat diakui lagi dengan orang tua dan bangsanya”.
-
Tahap
Klimaks
Pada tahap klimaks ini,
konflik meningkat dan semakin ruwet.
Bukti :
“Dasima
sudah menjadi istri muda Samiun dan tinggal di rumah Mak Buyung. Memang agak
sulit, namun di sana Dasima mencoba menyesuaikan diri dengan tata cara hidup di
kampung yang telah lama ditinggalkannya sejak hidup di “gedong” bersama “tuan”nya.
Meskipun
begitu, Dasima sering menderita akibat perbuatan Hayati yang penyakitnya
berjudi (maen ceki) kian menjadi-jadi.
Ketika
itu Bang Puase bertemu dengan Dulo, seperti biasanya Bang Puase akan memalak.
Melalu Dulo , Bang Puase mengetahui bahwa nanti malam akan ada pertunjukkan Amir Hamzah di Kampung
Ketapang dan Nyai Dasima akan diajak nonton pertunjukkan itu oleh Samiun. Mendengar
itu,dalam hati Bang Puase tersenyum
jahat.”
-
Tahap
penyelesaian
Pada tahap ini,
penyelesaian dapat dipaparkan oleh pengarang atau dapat juga menggantung.
“Ketika
Nyai Dasima di ajak nonton pertunjukkan Amir Hamzah oleh Samiun dan di tengah
perjalanan, tepatnya di sebuah jembatan muncullah Bang Puase dengan kilau
goloknya di tengah gelap malam itu. Dan
tamatlah sudah riwayat Dasima di ujung golok Bang Puase.
Malam
kian larut. Detik-detik waktu mendorong fajar terbit, datanglah pagi. Dasima
mati dibunuh Bang Puase, mayatnya ditemukan tersangkut di pinggir kali. Bang
Puase berhasil ditangkap setelah dikepung oleh delapan orang polisi. Samiun
juga dimasukkan ke dalam bui karena dianggap ikut bertanggung jawab atas
“peristiwa berdarah” tadi malam”.
3.
Latar
Merupakan
lukisan peristiwa yang dialami oleh satu atau beberapa orang pada suatu waktu
disuatu tempat dan dalam suasana
tertentu.
-
Latar tempat
·
Di Kampung Kwitang, rumah Samiun
“ Diantara rumah-rumah itu
terdapatlah sebuah rumah yang beratap genting kepunyaan Samiun ...” (halaman 1,
bagian ke satu)
·
Langgar (mushola)
“ Gue mau lohor dulu,” tapi Mak Leha
mendadak berbalik.
“ Eh, kalu Miun pulang, tulung bilangin
die disuru nyusul Wak Lihun ke langgar. Ye ? Tunggu Miun di sini, ye?” (halaman
52, bagian kedua)
·
Rumah Mak Buyung
“Dasima sudah menjadi istri muda
Samiun dan tinggal di rumah Mak Buyung”
(halaman 55, bagian ketiga)
·
Belakang rumah Mak Buyung, pinggir
kali
“ Biase,” jawab Hayati, lantas
menghilang ke belakang rumah Mak Buyung menuju pinggir kali tempat berjudi,
maen ceki. (halaman 35, bagian kesatu)
·
Jembatan
“ Kejadiannya begitu cepat.
Kelihatan Dasima berlari-lari di jembatan sambil berteriak-teriak.” (halaman
69, bagian ketiga)
-
Latar waktu : JAKARTA, di jaman Betawi tahun 1820-an
-
Latar suasana
·
Ribut
Suasana ribut pada novel ini
digambarkan pada saat Hayati memarahi Dasima yang sedang makan. Dasima
memperlihatkan piring yang berisi nasi kepada Hayati, tetapi malah ditepok oleh
Hayati hingga nasi itu tumpah berserakan di lantai dan Hayati pun menyuruh Dasima
untuk menyapu. Sementara Hayati menyapu,
Hayati duduk sambil menaikkan kakinya dengan sombong dan sambil terus nyerocos.
(halaman 61)
·
Menyedihkan
Suasana menyedihkan
digambarkan pada saat Dasima tinggal di rumah gedong bersama Tuan-nya. Hampir
tiap malam, Tuan terima tamu bangsanya, tapi Dasima tidak bisa ikut mereka,
Dasima tidak bisa ketawa-tawa bersama mereka, Dasima tidak mengerti omong
mereka. Dan lebih parah lagi Dasima selalu dihina sebagai orang kampung. Tujuh
tahun Dasima tersika jauh dari teman-teman, dari bangsa sendiri, dan orang tua.
(halaman 14, bagian kesatu)
·
Menegangkan
Suasana menegangkan pada novel ini
digambarkan pada saat Dasima berlari-lari di jembatan sambil berteriak karena
kejaran Bang Puase yang akan membunuhnya. (halaman 69)
·
Bingung
Suasana bingung digambarkan ketika
Samiun terjepit antara keinginan untuk berbakti kepada orang tua, tetapi juga
untuk menjalani pilihan hidupnya sendiri.
Hayati adalah calon istri yang
dipilihkan oleh almarhum ayahnya Samiun, untuk itu Samiun tidak boleh
meninggalkan Hayati. Tetapi di sisi lain, Samiun juga ingin menikahi Dasima dan
memiliki anak. Karena sudah menikah bertahun-tahun dengan Hayati belum juga
memiliki seorang anak.
(halaman 36)
4.
Sudut
pandang
Sudut
pandang merupakan cara memandang yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh.
Dalam novel
“Nyai Dasima” ini, pengarang sengaja memilih sudut pandang orang pertama tokoh
utama, yaitu Dasima. Sudut pandang ini sengaja dipilih oleh pengarang untuk
mengemukakan gagasan dan ceritanya.
5.
Tema
Tema
merupakan pokok pikiran atau isyarat
dari pengarang mengenai inti dari permasalahan dalam cerita tersebut.
Dalam novel
“Nyai Dasima” ini pengarang mencoba menggambarkan sosok perempuan biasa yang
berasal dari kampung (Dasima) yang
diangkat menjadi seorang istri piara (gundik) dari bangsa putih (Tuan Edward
Williams). Mereka memiliki satu orang anak yang bernama Nancy, tetapi mereka
tidak menikah. Dasima hanya dijadikan gundik, bukan istri sah. Di dalam cerita
ini, digambarkan bagaimana penderitaan seorang gundik yang hidup di rumah
“gedong” dan bergelimpang harta, tetapi tidak dengan teman-teman, bangsa
sendiri, dan orang tuanya. Di tengah perjalnan hidupnya, Dasima bimbang
menentukan nasibnya. Ia ingin lepas dari Tuan-nya, ia ingin diakui bangsanya
sendiri, orang tuanya, dan teman-teman. Hingga akhirnya ia menikah dengan
Samiun, warga Kampung Kwitang yang memiliki beberapa delman. Ia bahagia dapat
berkumpul dengan bangsanya, tetapi seakan derita tak mau lepas dari perjalanan
hidupnya. Meskipun sudah menikah dan dijadikan sebagai istri kedua oleh Samiun,
ia tetap menderita karena ulahnya Hayati (istri pertama). Hingga akhirnya
Dasima meninggal karena dibunuh oleh Bang Puase, atas perintah Tuan Edward
Williams.
Atas
dasar cerita singkat di atas, tema yang saya angkat dari novel “Nyai Dasima” ini
adalah “Derita seorang gundik”. Melalui novel ini, pengarang seolah mengisyaratkan tentang penderitaan seorang
istri piara (gundik).
6.
Gaya bahasa
Merupakan
cara pengungkapan seorang pengarang yang khas.
Setiap
pengarang memiliki sesuatu yang khas dari karyanya, tidak mungkin sama. Dan di
dalam novel “Nyai Dasima” ini S.M Ardan menggunakan bahasa yang berbeda dengan
karya sastra pengarang lainnya. S.M Ardan memilih menggunakan bahasa orang
betawi. Penggunaan Bahasa Betawi dalam novel “Nyai Dasima” ini sesuai dengan latar belakang dirinya yang
merupakan seorang sastrawan betawi. Penggunaan kata “Nyai” dalam novel ini juga
tidak tanpa alasan. S.M Ardan memandang kata “Nyai” ini sudah terlalu
diselewengkan oleh kolonialisme. Bahkan direkonstruksi sedemikan rupa sehingga
mencuat citra orang Betawi yang memiliki sifat yang jelek-jelek. Untuk itu,
Ardan ingin merubah citra itu melalui novel “Nyai Dasima” ini.
2.2
Unsur
Ekstrinsik
Nilai-nilai dalam cerita Dalam sebuah karya sastra
terkandung nilai-nilai yang disisipkan oleh pengarang. Nilai-nilai itu antara
lain :
1. Bagian Pragmatik
·
Nilai Moral
Yaitu nilai yang berkaitan dengan
ahklak atau budi pekerti baik buruk.
ada
beberapa nilai moral yang terdapat dalam novel “Nyai Dasima” ini, antara lain :
§
Sudah
seharusnya menjadi seorang istri itu taat kepada suaminya dan mengurusnya
dengan baik. Bukan malah sibuk dengan urusannya sendiri, terlebih lagi
urusannya itu adalah hal yang tidak baik, seperti yang diperankan oleh tokoh
Hayati. Di dalam novel ini diceritakan bahwa Hayati adalah seorang istri yang
tidak taat kepada suaminya (Samiun), dia
malah sibuk dengan cekinya (judi).
§
Setiap
manusia pasti mempunyai masalah dalam hidupnya, seperti halnya dengan Dasima.
Dasima yang menjadi istri piara seorang asing yang bernama Tuan Edward
Williams. Tinggal di rumah gedong tapi bukan dengan bangsanya sendiri, Dasima
merasa sangat kesepian. Dasima selalu dihina sebagai orang kampung oleh
Tuan-nya. Selama tujuh tahun Dasima diperlakukan seperti itu oleh Tuan-nya,
tapi ia selalu bersabar dalam menghadapi nasib hidupnya itu.
§
Di
dalam novel ini diceritakan Bang Puase adalah seorang preman yang mau melakukan
apa saja asal mendapatkan uang, termasuk membunuh. Dari tokoh Bang Puase inilah
dapat kita ketahui bahwa moral yang dimiliki oleh Bang Puase itu tidak baik.
Mendapatkan uang dengan cara yang tidak baik, seperti membunuh yang dilakukan
oleh Bang Puasepada akhirnya akan tidak baik pula. Di akhir cerita, Bang Puase
dimasukkan ke dalam bui.
§
Wak
Lihun yang di dalam novel ini diceritakan memiliki kepribadian yang baik, yaitu
rajin beribadah dan taat kepada agamanya. Hal-hal yang baik seperti inilah yang
dapat kita tiru dan kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
§
Dari
tokoh Samiun dapat kita lihat bahwa ia adalah seorang suami yang tidak bisa
bersikap adil dan memberikan kasih sayang yang sama dengan kedua istrinya.
Awalnya ia sangat menginginkan Dasima
menjadi seorang istri mudanya. Sebagai seorang suami dia tidak bisa melindungi
Dasima dari kejahatan Hayati (istri pertama). Dari kejadian Samiun ini, kita
dapat memetik sebuah nilai yang sangat penting bagi seorang laki-laki, yaitu jika
memang merasa tidak bisa bersikap adil janganlah memiliki dua orang istri.
§
Tidak seharusnya kita mengambil
sesuatu yang bukan milik kita secara paksa. Ini dapat kita lihat dari novel
ini, ketika Hayati dengan paksa merebut kalung dan harta Dasima secara paksa.
·
Nilai
religius
Yaitu nilai yang berkaitan dengan
kepercayaan yang dianut.
§
Nilai religius dapat kita lihat dari
tokoh Wak Lihun, ia taat terhadap agama dan rajin beribadah ke masjid.
§
Di dalam novel ini juga dijelaskan
bahwa ilmu memelet itu tidak diperbolehkan oleh agama.
·
Nilai
Estetika
Yaitu nilai
yang berkaitan dengan seni, keindahan dalam karya sastra ( tentang bahasa,
alur, tema )
§ Penggunaan
bahasa betawi dalam novel ini menjadikan novel ini lebih indah.
§ Penggunaan
kata “NYAI” untuk judul novel ini juga membuat orang penasaran untuk membacanya
dan mengetahui tentang ceritanya.
2. Bagian Sosiologis
·
Nilai Sosial
Yaitu
hal-hal yang berkaitan dengan norma –norma dalam kehidupan masyarakat ( misalnya,
saling memberi, menolong, dan tenggang rasa ).
§ Sudah
seharusnya sebagai manusia saling menasehati satu sama lain. Jika ada yang akan
melakukan sesuatu yang tidak baik. hal inilah yang dilakukan Wak Lihun kepada
Samiun, ketika Samiun menyuruh Wak Lihun untuk memelet Dasima agar jatuh hati
dan mau menikah dengannya.
§ Memalak
dalam lingkungan sosial merupakan suatu perbuatan yang tidak baik. Perbuatan
memalak dalam novel ini digambarkan oleh tokoh Bang Puase yang suka memalak
Dulo atau Samiun meminta uang setoran. Dalam kehidupan bermasyarakat seharusnya
kita saling menolong dan memberi terhadap
sesama yang membutuhkan, bukan malah memalak.
§ Bermain ceki
(berjudi) merupakan salah satu perbuatan yang melanggar norma dalam kehidupan
sosial atau bermasyarakat. Di dalam kehidupan bermasyarakat orang yang berjudi
akan di anggap sebagai orang yang tidak baik. Dan orang yang melakukannya akan
dijadikan bahan gunjingan lingkungan
masyarakat.
§ Poligami
atau mempunyai dua orang istri dalam kehidupan masyarakat merupakan suatu aib
bagi keluarganya. Orang yang melakukan poligami juga akan mendapat sorotan yang
tidak baik bagi lingkungan masyarakatnya. Selain itu, masyarakat akan selalu
menggunjing mereka yang melakukan poligami. Masyarakat seakan ingin mengetahui
segala sesuatu tentang keluarga yang melakukan poligami tersebut. Dan bagi
istri kedua yang mau di pologami juga tak kalah mendapat sorotannya bagi
lingkungan masyarakatnya. Karena, dimanapun perempuan tak mau jika harus di
poligami atau di nomor duakan.
·
Nilai Budaya
Yaitu konsep
masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia (
misalnya adat istiadat ,kesenian, kepercayaan, upacara adat ).
§ Novel ini
menceritakan tentang kehidupan di jaman Betawi tahun 1820-an. Pengaruh budaya
Betawi dapat dilihat dari alat transportasinya, yaitu delman. Dimana pada jaman
tersebut delman adalah transportasi yang laris dan biasa digunakan oleh
masyarakatnya. Menarik delman pada jaman tersebut merupakan suatu pekerjaan
yang cukup terpandang, karena uang yang dihasilkan dari menarik delman
terhitung cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Selain itu juga
penggunaan Bahasa Betawi juga merupakan upaya salah satu mempertahankan nilai
budaya dari masyarakat Betawi. Karena dijaman sekarang, penggunaan Bahasa
Betawi sudah mulai luntur. Mereka malu menggunakan Bahasa Betawi, karena
logatnya yang nyablak.
§ Perbedaan
ras, suku, bangsa, dan cinta menimbulkan diskriminasi yang sangat kental pada
novel ini. Diskriminasi seolah sudah menjadi budaya pada jaman tersebut, dimana
pada jaman tersebut penduduk pribumi dipandang sangat rendah oleh bangsa putih.
Penduduk pribumi diperlakukan dengan seenaknya, di comot untuk ditempatkan
hanya sebatas “bini piara” dan dijauhkan dari keluarganya. Di beri pakaian dan
perhiasan yang mahal nan indah, namun tetap dibiarkan dalam kebodohan dan total
keberadaannya semata diperuntukan sebagai objek penyaluran hasrat seksual bangsa
putih.
2.3
Tanggapan atau penilaian
Novel Nyai Dasima merupakan novel yang
ditulis ulang oleh S.M Ardan. Novel yang pertama ditulis oleh G. Francis adalah
Tjerita Njai Dasima. Ardan
mengungkapkan bahwa versi ‘kolonial’ (G. Francis) memperlihatkan nada anti muslim
yang pada masanya berarti anti-Pribumi. Tokoh-tokoh dalam cerita itu semuanya
jelek, kecuali Tuan W. Ardan menolak sekali dengan karakterisasi dari Francis
itu. Lalu pada tahun 1960, Ardan memulai upayanya dengan membuat versi baru Tjerita Njai Dasima yang dipublikasikan
sebagai cerita bersambung yang berjudul “Njai Dasima” dalam koran Warta Barita September-Oktober 1960.
Ciri
umum dari karangan-karangan Ardan selalu menggunakan tokoh dari warga
masyarakat Betawi dari kalangan pinggiran, seperti tukang becak, kusir,
gelandangan, pelacur dan sebagainya. Segi etnografisnya diperlihatkan Ardan
cenderung untuk merekam permainan anak-anak Kampung Betawi. Lalu tema, tema
cerita yang disuguhkan Ardan di setiap karyanya berkisar di sseputar kesusahan
hidup sehari-hari.
Adanya tokoh-tokoh yang
berlebihan, bisa saja “jatuh” secara kualitatif, tapi secara kuantitatif sangat
mungkin mampu memenuhu ekspetasi pembaca. Hadirnya karakter yang budiman,
dengki, tega dalam menista, serta kejam merupakan suatu keharusan yang
diam-diam dituntut oleh pembaca. Semua karakter ini ada dalam novel Nyai Dasima
ini. Karakter hitam-putih pada cerita novel ini menjadi ruang bagi pembaca.
Pembaca seperti memperoleh tempat pelarian yang menyenangkan.
Pengarang menggambarkan
suatu permasalahan yang kompleks dalam satu novel membuat saya kagum dan sangat
mengapresiasi novel ini. kehidupan di dalam novel ini tidak jauh berbeda dengan
kehidupan bermasyarakat pada umumnya. sehingga ketika membaca novel ini kita
dapat dengan mudah untuk larut dalam cerita. Dengan membaca novel ini, kita
dapat mendapatkan pesan-pesan moral, sosial, dan budaya.selain itu juga kita
dapat mendapatkan nilai budaya, yaitu penggunaan Bahasa Betawi yang merupakan
nilai budaya dari bangsa Indonesia.
Kelinearan alur yang
sederhana tidak berarti membuat pembaca bosan, tetapi malah “memaksa” pembaca
untuk masuk ke teras persoalan secara intensif. Kondisi semacam ini memang
tidak mengarahkan pembaca kepada kekrtisan, melainkan hanya pada peluapan
emosional belaka.
2.4 Temuan
hal-hal yang menarik
Di
dalam sebuah karya sastra pasti terdapat hal-hal yang menarik. Seperti pada
karya sastra novel “Nyai Dasima” yang saya analisis. Saya menemukan beberapa
hal yanag menarik dari cerita “Nyai Dasima” ini, diantaranya yaitu :
1.
Tokoh-tokohnya
digambarkan sebagai warga masyarakat Betawi dari kalangan “orang pinggiran”
seperti kusir dengan upah mingguan.
2.
Latar
sosial dan budayanya memperlihatkan lingkungan urban Betawi di Jakarta seperti
Kwitang.
3.
Dialog
antar tokoh cerita menggunakan bahasa percakapan Betawi.
4.
Tema
cerita berkisar di kesulitan kehidupan sehari-hari.
Temuan
hal-hal yang menarik seperti inilah yang membuat novel Nyai Dasima ini menjadi
unik dan menarik pembaca untuk membaca novel ini. Dari semua temuan hal-hal
yang menarik dari novel ini, yang paling menonjol adalah dialog antar
tokohnya. Dialog antar tokoh dalam
cerita novel Nyai Dasima ini menggunakan
percakapan orang Betawi. Jika tidak terbiasa mendengar percakapan dengan
menggunakan Bahasa Betawi mungkin agak sulit untuk memahami alur ceritanya.
Tetapi, justru inilah yang menjadikan novel ini unik dan menarik untuk dibaca.
Selain
itu juga kisah percintaan Dasima juga menarik untuk kita lihat. Dasima yang
menjadi “bini piara” dari bangsa putih ingin lari dan kembali kepada bangsanya
sendiri. Ia ingin diakui kembali oleh bangsa dan orang tuanya. Untuk itu, ia
berani meninggalkan anak satu-satunya, yaitu Nancy untuk menikah dengan orang
dari bangsanya sendiri dan menjadi istri yang kedua. Kisah percintaan yang unik
dan jarang sekali dijumpai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar