Sabtu, 29 November 2014

MAKALAH ANALISIS NOVEL "NYAI DASIMA"


PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makala yang berjudul “Analisis Novel Nyai Dasima”
Makalah ini disusun guna untuk melengkapi tugas akhir Mata Kuliah Apresiasi Prosa. Dalam menyusun makalah ini, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, penulis berharap kritik dan saran dari semua pihak untuk menjadikan makalah ini lebih baik lagi.
Tak lupa penulis ucapkan rasa terima kasih kepada Ibu Nas selaku dosen pembimbing Mata Kuliah Apresiasi Prosa dan Ibu Nana Rizki selaku asisten dosen sehingga tugas ini dapat penulis selesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah mendukung  dan pihak-pihak lain yang turut membantu penyusunan tugas ini sehingga dapat dinikmati oleh pembaca.
Akhir kata, penulis bersedia menerima kritik maupun saran yang dapat membangun agar dapat menyelesaikan tugas lebih baik lagi. Selain itu, penulis meminta maaf jika terdapat kekurangan dalam penulisan tugas ini. Semoga tugas  ini bermanfaat. Terima kasih.







Semarang, .. Juli 2014
Yeni Alfiani




Bab I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
                  Karya sastra selain sebagai media pendidikan, kontrol sosial, pemberontakan, juga berfungsi sebagai penyampaian pesan kepada masyarakat atas segala polemik persoalan yang ada sehingga kita dapat mempunyai gambaran atas apa yang harus kita lakukan saat harus menghadapi persoalan yang sama dengan apa yang terjadi dalam sebuah karya sastra (Novel) misalnya.
                  Sejarah novel Indonesia berkembang seiring dengan sejarah budaya kota-kota besar di Indonesia. Yang menjadi faktor pendorong munculnya novel-novel populer yang menggunakan bahasa Melayu-Cina adalah terputusnya akar budaya yang mereka miliki. Novel-novel populer yang beredar pada masa sastra Melayu Rendah sebagian besar bercerita tentang kaum pribumi dan kejadian-kejadian sejarah Indonesia , salah satu karyanya yaitu novel Nyai Dasima karangan G. Francis yang ditulis ulang oleh S.M Ardan.
                  Jenis prosa fiksi yang akan dianalisis adalah novel. Novel merupakan hasil karya sastra yang didalamnya mengungkapkan masalah-masalah yang tedapat dalam kehidupan, baik yang berkaitan denga nilai-nilai sosial,filsafal, moral, religius, maupun hal-hal yang ada di dalam kehidupan. Karya sastra novel sebagai salah satu bentuk cerita rekaan, merupakan sebuah karya yang kompleks dan bermakna. Novel bukan sekedar bacaan saja, tetapi merupakan hasil karya yang terdiri dari unsur-unsur yang padu. Untuk mengetahui dan memahami makna-makna pikiran-pikiran tersebut, karya sastra Novel perlu dianalisis. Untuk itu, di sini saya akan mencoba menganalisis Novel “Nyai Dasima” karya S.M Ardan.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa saja unsur intrinsik dari novel ini ?
2.      Apa saja unsur ekstrinsik dari novel ini ?
3.      Apa saja hal-hal yang menarik  yang terdapat dalam novel Nyai Dasima ?

Bab II
PEMBAHASAN

  2.1 Unsur Intrinsik
   1.         Tokoh dan Penokohan
a.         Tokoh

Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam cerita. Tokoh – tokoh dalam novel “ Nyai Dasima“ ini antara lain adalah sebagai berikut :
·           Dasima
·           Tuan Edward Williams
·           Samiun
·           Hayati
·           Mak Leha
·           Bang Puase
·           Dulo
·           Mak Buyung
·           Wak Salihun

Ditinjau dari segi keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh prosa fiksi dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh sentral / tokoh utama dan tokoh periferal / tokoh tambahan ( bawahan ). Berikut merupakan tokoh sentral dan tokoh periferal dalam novel “ Nyai Dasima“ :
Ø  Tokoh Sentral
·         Dasima
Ø  Tokoh Periferal
·         Tuan Edward Williams
·         Samiun
·         Hayati
·         Mak LehaBang Puase
·         DuloMak Buyung
·         Wak Salihun

b.         Penokohan
Penokohan merupakan penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Penokohan dalam novel “Nyai Dasima“ ini adalah sebagai berikut :

Tokoh
Watak
Penjelasan
Dasima
·      Berani mengungkapkan sesuatu hal




·      Sabar







·      Mudah terpengaruh








·      Penakut



·      penyanyang
“Hampir tiap malam, Tuan terima tamu bangsanya, tapi saya tidak bisa ikut mereka, saya tidak bisa ketawa-tawa bersama mereka, saya tidak mengerti omong mereka,” (halaman 14, bagian kesatu)

“tujuh tahun saya kesepian, jauh dari orang tua, jauh dari teman, jauh dari bangsa sendiri. Saya sering melamun sendirian, apalagi kalau malam dan Nancy sudah tertidur”.
(halaman 14, bagian kesatu)

“ Dasima terpengaruh, dan berkata, “ saya mau cerai dari Tuan supaya bisa diakui lagi sama orang tua, diakui lagi sama bangsa saya. Sudah lama saya ingin pulang, campur lagi sama teman-teman di Kuripan, . . .
(halaman 45, bagian kedua)


“Tapi sebentar lagi Tuan pulang. Nanti saya dapat marah.”
(halaman 18)

“Sebenarnya saya senang sekali di sini. Tapi saya ingat Mamcy, Mak.”
(halaman 18)
Tuan Edward Williams
·      Suka menghina





·      Pembalas dendam
“Tuan sudah tahu saya suka datang ke mari. Lantas lagi-lagi saya dihina sebagai orang kampung, Tuan amat marah.”
(halaman 42, bagian kedua)

“Tuan pikir saya tidak akan betah lama-lama di siini, tapi Tuan salah juga. Sebab itu saa takut, saya takut Tuan akan membalas dendam. Tentunya Tuan tidak akan tinggal diam, Lo.” (halaman 57, bagian ketiga)

Samiun
·      Egois




·      Putus asa
“Kagak bisa laen, Wak. Nyai musti didapetin. Kalu kagak, bisa mati aye”. (halaman 21, bagian kesatu)

“Lu kan lakinye, pantes dong tegor tu Hayati. Lu sih malahan ikut-ikutan kagak bener. Padahal kewajiban lu tu bawa Hayati ke jalan agame.”
“Ude kagak mempan dibilangin, Wak,” jawab Miun.
(halaman 22, bagian kesatu)

Hayati
·      Suka bermain ceki (berjudi)






·         Takut di tinggal kawin





·     Jahat, Mengambil sesuatu yang bukan miliknya dengan paksa

“ Mpok Hayati kemane, Nyak?”
Dengan suara keras Mak Leha berkata, “Kaye nyang nggak tau aje. Biase deh. Dari pagi ude pegi, tapi bukan nyari duit kaye si Miun. Hayati sih ngebuangin duit ... maen ceki!” (halaman 3, bagian kesatu)

“Hayati mencoba menghentikan tangisnya. “Bang Puase bilang Miun ... Miun ... Miun kawin lagi,” dan menjerit lagi, “Un ... Miun.”
(halaman 53, bagian kedua)

“Tidak lama kemudian Hayati muncul lagi sambil membungkus kalung emas dengan sapu tangannya. Pada saat itu pula Dasima muncul kembali, kaget, “Pok ... mau dibawa kemana?” (halaman 61, bagian ketiga)

Mak Leha
·      Sabar


·      Perhatian

“Dan Mak Leha coba bersabar” (halaman 8, bagin kesatu)

“Umpamanye lu jadi kawin ame tu Nyai  ... nanti ...,”
“Ape sekiranye lu snggup ngempaninnye?”
(halaman 37, bagian kedua)

Bang Puase
·      Mau melakukan apa saja asal mendapatkan uang



·      Suka mengancam





·      Suka malak

“ ape lu kira gue orang sembarangan ? gue nih ... jangan lu samain ame Puase tuh nyang mau ngerjain ape aje asal dapet duit”. (halaman 21, bagian kesatu)

“Ape nyang mane?”
Sambil pegang goloknya Bang Puase mengancam, “E, lu mau nyobain golok gue si Mane Lagi, hah?” (halaman 25, bagian kesatu)

“Ssst! Sini lu!” gertak sang jagoan. “Sini ...”
“Duit setoran?” Bang Puase ketawa.
Si tukang pukul Kwitang tolak pinggang, emangnye kenape?”
(halaman 57, bagian ketiga
Dulo
·      Penakut
“Ape lu!” gertak Bang Puase.
Dulo meringis seperti mau menangis.
(halaman 49, bagian kedua)

“ Takut-takut Dulo menghampiri, dengan suara gemetar berkata, “Ade juga duit setoran, Bang.” (halaman 57, bagian ketiga)

Mak Buyung
·      Suka Menghasut
“Tahulah Mak Buyung bahwa jalan untu “menggosok” Dasima telah terbuka, “pancing” mulai ddilemparkan, “Aah masa sih Nyai betah di sini. Rumenye pondok ampir rubu, jalannye becek kalu ujan, gelap kalu malem.”
 (halaman 13, bagian kesatu)

“ itulah suatu pembukaan jalan, Mak Buyung tidak membuang kesempatan itu.”
“ Dasima sudah masuk perangkap. Mak suka antar saya ke Kuripan?” (halaman 43, bagian kedua)

Wak Salihun
·      Rajin beribadah






·      Taat agama
“Ketika itulah dari kiri lewat Wak Lihun dengan tasbih di tangan kiri sedangkan tangan kanannya memgang tongkat hendak ke langgar (mushola atau masjid)”.
(halaman 2, bagian kesatu)

“Tapi lu jangan nyuruh gue melet. Haram tau ? miun kelabakan sebentar, dan kemudian coba membela diri”. (halaman 21, bagian kesatu)



   2.         Jenis dan Struktur Alur
Alur adalah jalinan peristiwa secara beruntun dalam sebuah prosa fiksi yang memperhatikan hubungan sebab-akibat sehingga cerita itu merupakan keseluruhan yang padu, bulat, dan utuh.
Jenis alur yang digunakan dalam novel ini adalah jenis alur maju, karena di dalam novel ini pengarang menceritakan urutan kejadian atau peristiwa secara berurutan.

Struktur Alur :

-         Tahap Awal pengenalan
Bagian cerita berupa pengenalan tokoh,  lukisan , waktu, tempat atau kejadian yang merupakan awal cerita.
Bukti :
JAKARTA, di jaman Betawi, tahun 1820-an. Kampung Kwitang aktu itu masih merupakan “setengah hutan”, belum banyak penghuninya. Di antara rumah-rumah yang sedikit itu terdapatlah sebuah rumah beratap genting kepunyaan Samiun yang memiliki beberapa buah delman.

-          Tahap pemunculan konflik
Bagian yang menceritakan maslah yang dihadapi pelaku cerita.
Bukti :
“Ketika Samiun menemui dan meminta bantuan Wak Lihun untuk menyemburkan (melet) Nyai Dasima agar jatuh cinta kepada dirinya. Tetapi, di situ Wak Lihun menolaknya dengan tegas. Karena, menurutnya itu haram. Dan mengatakan bahwa Samiun akan ikut-ikutan kafir seperti Nyai Dasima yang berlaki kafir. Wak lihun juga mengatakan bahwa Samiun menginginkan Nyai Dasima bukan karena cinta, tapi karena hartanya”.

-          Tahap peningkatan konflik

Bukti :
“Ketika Nyai Dasima datang ke rumahnya Mak Buyung dan memberitahukan bahwa Tuannya sudah tau bahwa dia suka datang ke sini (kampung, tempat tinggal Mak Buyung). Nyai Dasimah dihina oleh Tuan W sebagai orang kampung dan Tuannya amat marah. Saat itu , Nyai Dasima mengutarakan isi hatinya untuk dapat segera berkumpul dengan bangsanya sendiri. Mak buyung pun mengusul agar Nyai Dasima cerai dengan Tuan. Awalnya Nyai Dasima ragu untuk bercerai dengan Tuan, karena sudah begitu lama dengan Tuan. Tapi, cepat-cepat Mak Buyung memotong perkataan Nyai Dasima dan terus meyakinkan Nyai Dasima agar mau segera cerai dengan Tuan. Akhirnya Nyai Dasima pun terpengaruh oleh kata-kata Mak Buyung untuk cerai dengan Tuan agar dapat diakui lagi dengan orang tua dan bangsanya”.

-          Tahap Klimaks
Pada tahap klimaks ini, konflik meningkat dan semakin ruwet.
Bukti :
“Dasima sudah menjadi istri muda Samiun dan tinggal di rumah Mak Buyung. Memang agak sulit, namun di sana Dasima mencoba menyesuaikan diri dengan tata cara hidup di kampung yang telah lama ditinggalkannya sejak hidup  di “gedong” bersama “tuan”nya.
Meskipun begitu, Dasima sering menderita akibat perbuatan Hayati yang penyakitnya berjudi (maen ceki) kian menjadi-jadi.
Ketika itu Bang Puase bertemu dengan Dulo, seperti biasanya Bang Puase akan memalak. Melalu Dulo , Bang Puase mengetahui bahwa nanti malam  akan ada pertunjukkan Amir Hamzah di Kampung Ketapang dan Nyai Dasima akan diajak nonton pertunjukkan itu oleh Samiun. Mendengar itu,dalam hati  Bang Puase tersenyum jahat.”

-          Tahap penyelesaian
Pada tahap ini, penyelesaian dapat dipaparkan oleh pengarang atau dapat juga menggantung.
“Ketika Nyai Dasima di ajak nonton pertunjukkan Amir Hamzah oleh Samiun dan di tengah perjalanan, tepatnya di sebuah jembatan muncullah Bang Puase dengan kilau goloknya di tengah gelap malam itu.  Dan tamatlah sudah riwayat Dasima di ujung golok Bang Puase. 
Malam kian larut. Detik-detik waktu mendorong fajar terbit, datanglah pagi. Dasima mati dibunuh Bang Puase, mayatnya ditemukan tersangkut di pinggir kali. Bang Puase berhasil ditangkap setelah dikepung oleh delapan orang polisi. Samiun juga dimasukkan ke dalam bui karena dianggap ikut bertanggung jawab atas “peristiwa berdarah” tadi malam”.

  3.      Latar
Merupakan lukisan peristiwa yang dialami oleh satu atau beberapa orang pada suatu waktu disuatu  tempat dan dalam suasana tertentu.

-          Latar tempat         
·      Di Kampung Kwitang, rumah Samiun
“ Diantara rumah-rumah itu terdapatlah sebuah rumah yang beratap genting kepunyaan Samiun ...” (halaman 1, bagian ke satu)

·      Langgar (mushola)
“ Gue mau lohor dulu,” tapi Mak Leha mendadak  berbalik.
“ Eh, kalu Miun pulang, tulung bilangin die disuru nyusul Wak Lihun ke langgar. Ye ? Tunggu Miun di sini, ye?” (halaman 52, bagian kedua)

·      Rumah Mak Buyung
“Dasima sudah menjadi istri muda Samiun dan tinggal di rumah Mak Buyung”
(halaman 55, bagian ketiga)

·      Belakang rumah Mak Buyung, pinggir kali
“ Biase,” jawab Hayati, lantas menghilang ke belakang rumah Mak Buyung menuju pinggir kali tempat berjudi, maen ceki. (halaman 35, bagian kesatu)

·      Jembatan
“ Kejadiannya begitu cepat. Kelihatan Dasima berlari-lari di jembatan sambil berteriak-teriak.” (halaman 69, bagian ketiga)

-          Latar waktu           : JAKARTA, di jaman Betawi tahun 1820-an

-          Latar suasana       

·      Ribut
Suasana ribut pada novel ini digambarkan pada saat Hayati memarahi Dasima yang sedang makan. Dasima memperlihatkan piring yang berisi nasi kepada Hayati, tetapi malah ditepok oleh Hayati hingga nasi itu tumpah berserakan di lantai dan Hayati pun menyuruh Dasima untuk menyapu. Sementara Hayati  menyapu, Hayati duduk sambil menaikkan kakinya dengan sombong dan sambil terus nyerocos. (halaman 61)

·      Menyedihkan
Suasana menyedihkan digambarkan pada saat Dasima tinggal di rumah gedong bersama Tuan-nya. Hampir tiap malam, Tuan terima tamu bangsanya, tapi Dasima tidak bisa ikut mereka, Dasima tidak bisa ketawa-tawa bersama mereka, Dasima tidak mengerti omong mereka. Dan lebih parah lagi Dasima selalu dihina sebagai orang kampung. Tujuh tahun Dasima tersika jauh dari teman-teman, dari bangsa sendiri, dan orang tua. (halaman 14, bagian kesatu)

·      Menegangkan
Suasana menegangkan pada novel ini digambarkan pada saat Dasima berlari-lari di jembatan sambil berteriak karena kejaran Bang Puase yang akan membunuhnya. (halaman 69)


·      Bingung
Suasana bingung digambarkan ketika Samiun terjepit antara keinginan untuk berbakti kepada orang tua, tetapi juga untuk menjalani pilihan hidupnya sendiri.
Hayati adalah calon istri yang dipilihkan oleh almarhum ayahnya Samiun, untuk itu Samiun tidak boleh meninggalkan Hayati. Tetapi di sisi lain, Samiun juga ingin menikahi Dasima dan memiliki anak. Karena sudah menikah bertahun-tahun dengan Hayati belum juga memiliki seorang anak.
(halaman 36)

  4.      Sudut pandang
Sudut pandang merupakan cara memandang yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh.
Dalam novel “Nyai Dasima” ini, pengarang sengaja memilih sudut pandang orang pertama tokoh utama, yaitu Dasima. Sudut pandang ini sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.

  5.      Tema
Tema merupakan pokok pikiran atau isyarat dari pengarang mengenai inti dari permasalahan dalam cerita tersebut.
Dalam novel “Nyai Dasima” ini pengarang mencoba menggambarkan sosok perempuan biasa yang berasal dari kampung  (Dasima) yang diangkat menjadi seorang istri piara (gundik) dari bangsa putih (Tuan Edward Williams). Mereka memiliki satu orang anak yang bernama Nancy, tetapi mereka tidak menikah. Dasima hanya dijadikan gundik, bukan istri sah. Di dalam cerita ini, digambarkan bagaimana penderitaan seorang gundik yang hidup di rumah “gedong” dan bergelimpang harta, tetapi tidak dengan teman-teman, bangsa sendiri, dan orang tuanya. Di tengah perjalnan hidupnya, Dasima bimbang menentukan nasibnya. Ia ingin lepas dari Tuan-nya, ia ingin diakui bangsanya sendiri, orang tuanya, dan teman-teman. Hingga akhirnya ia menikah dengan Samiun, warga Kampung Kwitang yang memiliki beberapa delman. Ia bahagia dapat berkumpul dengan bangsanya, tetapi seakan derita tak mau lepas dari perjalanan hidupnya. Meskipun sudah menikah dan dijadikan sebagai istri kedua oleh Samiun, ia tetap menderita karena ulahnya Hayati (istri pertama). Hingga akhirnya Dasima meninggal karena dibunuh oleh Bang Puase, atas perintah Tuan Edward Williams.

Atas dasar cerita singkat di atas, tema yang saya angkat dari novel “Nyai Dasima” ini adalah “Derita seorang gundik”. Melalui novel ini, pengarang seolah  mengisyaratkan tentang penderitaan seorang istri piara (gundik).

   6.      Gaya bahasa
Merupakan cara pengungkapan seorang pengarang yang khas.
Setiap pengarang memiliki sesuatu yang khas dari karyanya, tidak mungkin sama. Dan di dalam novel “Nyai Dasima” ini S.M Ardan menggunakan bahasa yang berbeda dengan karya sastra pengarang lainnya. S.M Ardan memilih menggunakan bahasa orang betawi. Penggunaan Bahasa Betawi dalam novel “Nyai Dasima” ini  sesuai dengan latar belakang dirinya yang merupakan seorang sastrawan betawi. Penggunaan kata “Nyai” dalam novel ini juga tidak tanpa alasan. S.M Ardan memandang kata “Nyai” ini sudah terlalu diselewengkan oleh kolonialisme. Bahkan direkonstruksi sedemikan rupa sehingga mencuat citra orang Betawi yang memiliki sifat yang jelek-jelek. Untuk itu, Ardan ingin merubah citra itu melalui novel “Nyai Dasima” ini.





2.2  Unsur Ekstrinsik
Nilai-nilai dalam cerita Dalam sebuah karya sastra terkandung nilai-nilai yang disisipkan oleh pengarang. Nilai-nilai itu antara lain :

1.      Bagian Pragmatik

·      Nilai Moral
Yaitu nilai yang berkaitan dengan ahklak atau budi pekerti baik buruk.
ada beberapa nilai moral yang terdapat dalam novel “Nyai Dasima” ini, antara lain :
§  Sudah seharusnya menjadi seorang istri itu taat kepada suaminya dan mengurusnya dengan baik. Bukan malah sibuk dengan urusannya sendiri, terlebih lagi urusannya itu adalah hal yang tidak baik, seperti yang diperankan oleh tokoh Hayati. Di dalam novel ini diceritakan bahwa Hayati adalah seorang istri yang tidak taat kepada suaminya (Samiun), dia  malah sibuk dengan cekinya (judi).
§  Setiap manusia pasti mempunyai masalah dalam hidupnya, seperti halnya dengan Dasima. Dasima yang menjadi istri piara seorang asing yang bernama Tuan Edward Williams. Tinggal di rumah gedong tapi bukan dengan bangsanya sendiri, Dasima merasa sangat kesepian. Dasima selalu dihina sebagai orang kampung oleh Tuan-nya. Selama tujuh tahun Dasima diperlakukan seperti itu oleh Tuan-nya, tapi ia selalu bersabar dalam menghadapi nasib hidupnya itu.
§  Di dalam novel ini diceritakan Bang Puase adalah seorang preman yang mau melakukan apa saja asal mendapatkan uang, termasuk membunuh. Dari tokoh Bang Puase inilah dapat kita ketahui bahwa moral yang dimiliki oleh Bang Puase itu tidak baik. Mendapatkan uang dengan cara yang tidak baik, seperti membunuh yang dilakukan oleh Bang Puasepada akhirnya akan tidak baik pula. Di akhir cerita, Bang Puase dimasukkan ke dalam bui.
§  Wak Lihun yang di dalam novel ini diceritakan memiliki kepribadian yang baik, yaitu rajin beribadah dan taat kepada agamanya. Hal-hal yang baik seperti inilah yang dapat kita tiru dan kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
§  Dari tokoh Samiun dapat kita lihat bahwa ia adalah seorang suami yang tidak bisa bersikap adil dan memberikan kasih sayang yang sama dengan kedua istrinya. Awalnya  ia sangat menginginkan Dasima menjadi seorang istri mudanya. Sebagai seorang suami dia tidak bisa melindungi Dasima dari kejahatan Hayati (istri pertama). Dari kejadian Samiun ini, kita dapat memetik sebuah nilai yang sangat penting bagi seorang laki-laki, yaitu jika memang merasa tidak bisa bersikap adil janganlah memiliki dua orang istri.
§  Tidak seharusnya kita mengambil sesuatu yang bukan milik kita secara paksa. Ini dapat kita lihat dari novel ini, ketika Hayati dengan paksa merebut kalung dan harta Dasima secara paksa.

·      Nilai religius
Yaitu nilai yang berkaitan dengan kepercayaan yang dianut.
§  Nilai religius dapat kita lihat dari tokoh Wak Lihun, ia taat terhadap agama dan rajin beribadah ke masjid.
§  Di dalam novel ini juga dijelaskan bahwa ilmu memelet itu tidak diperbolehkan oleh agama.

·      Nilai Estetika
Yaitu nilai yang berkaitan dengan seni, keindahan dalam karya sastra ( tentang bahasa, alur, tema )
§  Penggunaan bahasa betawi dalam novel ini menjadikan novel ini lebih indah.
§  Penggunaan kata “NYAI” untuk judul novel ini juga membuat orang penasaran untuk membacanya dan mengetahui tentang ceritanya.


2.      Bagian Sosiologis

·      Nilai Sosial
Yaitu hal-hal yang berkaitan dengan norma –norma dalam kehidupan masyarakat ( misalnya, saling memberi, menolong, dan tenggang rasa ).
§  Sudah seharusnya sebagai manusia saling menasehati satu sama lain. Jika ada yang akan melakukan sesuatu yang tidak baik. hal inilah yang dilakukan Wak Lihun kepada Samiun, ketika Samiun menyuruh Wak Lihun untuk memelet Dasima agar jatuh hati dan mau menikah dengannya.
§  Memalak dalam lingkungan sosial merupakan suatu perbuatan yang tidak baik. Perbuatan memalak dalam novel ini digambarkan oleh tokoh Bang Puase yang suka memalak Dulo atau Samiun meminta uang setoran. Dalam kehidupan bermasyarakat seharusnya kita saling menolong dan memberi terhadap  sesama yang membutuhkan, bukan malah memalak.
§  Bermain ceki (berjudi) merupakan salah satu perbuatan yang melanggar norma dalam kehidupan sosial atau bermasyarakat. Di dalam kehidupan bermasyarakat orang yang berjudi akan di anggap sebagai orang yang tidak baik. Dan orang yang melakukannya akan dijadikan bahan gunjingan  lingkungan masyarakat.
§  Poligami atau mempunyai dua orang istri dalam kehidupan masyarakat merupakan suatu aib bagi keluarganya. Orang yang melakukan poligami juga akan mendapat sorotan yang tidak baik bagi lingkungan masyarakatnya. Selain itu, masyarakat akan selalu menggunjing mereka yang melakukan poligami. Masyarakat seakan ingin mengetahui segala sesuatu tentang keluarga yang melakukan poligami tersebut. Dan bagi istri kedua yang mau di pologami juga tak kalah mendapat sorotannya bagi lingkungan masyarakatnya. Karena, dimanapun perempuan tak mau jika harus di poligami atau di nomor duakan.

·      Nilai Budaya
Yaitu konsep masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia ( misalnya adat istiadat ,kesenian, kepercayaan, upacara adat ).

§  Novel ini menceritakan tentang kehidupan di jaman Betawi tahun 1820-an. Pengaruh budaya Betawi dapat dilihat dari alat transportasinya, yaitu delman. Dimana pada jaman tersebut delman adalah transportasi yang laris dan biasa digunakan oleh masyarakatnya. Menarik delman pada jaman tersebut merupakan suatu pekerjaan yang cukup terpandang, karena uang yang dihasilkan dari menarik delman terhitung cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Selain itu juga penggunaan Bahasa Betawi juga merupakan upaya salah satu mempertahankan nilai budaya dari masyarakat Betawi. Karena dijaman sekarang, penggunaan Bahasa Betawi sudah mulai luntur. Mereka malu menggunakan Bahasa Betawi, karena logatnya yang nyablak.
§  Perbedaan ras, suku, bangsa, dan cinta menimbulkan diskriminasi yang sangat kental pada novel ini. Diskriminasi seolah sudah menjadi budaya pada jaman tersebut, dimana pada jaman tersebut penduduk pribumi dipandang sangat rendah oleh bangsa putih. Penduduk pribumi diperlakukan dengan seenaknya, di comot untuk ditempatkan hanya sebatas “bini piara” dan dijauhkan dari keluarganya. Di beri pakaian dan perhiasan yang mahal nan indah, namun tetap dibiarkan dalam kebodohan dan total keberadaannya semata diperuntukan sebagai objek penyaluran hasrat seksual bangsa putih.

2.3               Tanggapan atau penilaian
                        Novel Nyai Dasima merupakan novel yang ditulis ulang oleh S.M Ardan. Novel yang pertama ditulis oleh G. Francis adalah Tjerita Njai Dasima. Ardan mengungkapkan bahwa versi ‘kolonial’ (G. Francis) memperlihatkan nada anti muslim yang pada masanya berarti anti-Pribumi. Tokoh-tokoh dalam cerita itu semuanya jelek, kecuali Tuan W. Ardan menolak sekali dengan karakterisasi dari Francis itu. Lalu pada tahun 1960, Ardan memulai upayanya dengan membuat versi baru Tjerita Njai Dasima yang dipublikasikan sebagai cerita bersambung yang berjudul “Njai Dasima” dalam koran Warta Barita September-Oktober 1960.
                        Ciri umum dari karangan-karangan Ardan selalu menggunakan tokoh dari warga masyarakat Betawi dari kalangan pinggiran, seperti tukang becak, kusir, gelandangan, pelacur dan sebagainya. Segi etnografisnya diperlihatkan Ardan cenderung untuk merekam permainan anak-anak Kampung Betawi. Lalu tema, tema cerita yang disuguhkan Ardan di setiap karyanya berkisar di sseputar kesusahan hidup sehari-hari.
                        Adanya tokoh-tokoh yang berlebihan, bisa saja “jatuh” secara kualitatif, tapi secara kuantitatif sangat mungkin mampu memenuhu ekspetasi pembaca. Hadirnya karakter yang budiman, dengki, tega dalam menista, serta kejam merupakan suatu keharusan yang diam-diam dituntut oleh pembaca. Semua karakter ini ada dalam novel Nyai Dasima ini. Karakter hitam-putih pada cerita novel ini menjadi ruang bagi pembaca. Pembaca seperti memperoleh tempat pelarian yang menyenangkan.
                        Pengarang menggambarkan suatu permasalahan yang kompleks dalam satu novel membuat saya kagum dan sangat mengapresiasi novel ini. kehidupan di dalam novel ini tidak jauh berbeda dengan kehidupan bermasyarakat pada umumnya. sehingga ketika membaca novel ini kita dapat dengan mudah untuk larut dalam cerita. Dengan membaca novel ini, kita dapat mendapatkan pesan-pesan moral, sosial, dan budaya.selain itu juga kita dapat mendapatkan nilai budaya, yaitu penggunaan Bahasa Betawi yang merupakan nilai budaya dari bangsa Indonesia.

                        Kelinearan alur yang sederhana tidak berarti membuat pembaca bosan, tetapi malah “memaksa” pembaca untuk masuk ke teras persoalan secara intensif. Kondisi semacam ini memang tidak mengarahkan pembaca kepada kekrtisan, melainkan hanya pada peluapan emosional belaka.

2.4     Temuan hal-hal yang menarik
Di dalam sebuah karya sastra pasti terdapat hal-hal yang menarik. Seperti pada karya sastra novel “Nyai Dasima” yang saya analisis. Saya menemukan beberapa hal yanag menarik dari cerita “Nyai Dasima” ini, diantaranya yaitu :
1.      Tokoh-tokohnya digambarkan sebagai warga masyarakat Betawi dari kalangan “orang pinggiran” seperti kusir dengan upah mingguan.
2.      Latar sosial dan budayanya memperlihatkan lingkungan urban Betawi di Jakarta seperti Kwitang.
3.      Dialog antar tokoh cerita menggunakan bahasa percakapan Betawi.
4.      Tema cerita berkisar di kesulitan kehidupan sehari-hari.

Temuan hal-hal yang menarik seperti inilah yang membuat novel Nyai Dasima ini menjadi unik dan menarik pembaca untuk membaca novel ini. Dari semua temuan hal-hal yang menarik dari novel ini, yang paling menonjol adalah dialog antar tokohnya.  Dialog antar tokoh dalam cerita novel Nyai Dasima ini menggunakan  percakapan orang Betawi. Jika tidak terbiasa mendengar percakapan dengan menggunakan Bahasa Betawi mungkin agak sulit untuk memahami alur ceritanya. Tetapi, justru inilah yang menjadikan novel ini unik dan menarik untuk dibaca.
Selain itu juga kisah percintaan Dasima juga menarik untuk kita lihat. Dasima yang menjadi “bini piara” dari bangsa putih ingin lari dan kembali kepada bangsanya sendiri. Ia ingin diakui kembali oleh bangsa dan orang tuanya. Untuk itu, ia berani meninggalkan anak satu-satunya, yaitu Nancy untuk menikah dengan orang dari bangsanya sendiri dan menjadi istri yang kedua. Kisah percintaan yang unik dan jarang sekali dijumpai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar